Terdapat ayat inspiratif dalam Al Qur'an yang bisa dijadikan
bahan evaluasi diri (muhasabah) transendental guna memperbaiki diri
dalam setiap langkah kehidupan yang sementara ini:“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr: 18)
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS : At-Taubah :
36)
Permasalahan muncul pada zaman
kekhilafahan Umar bin Khatab. Saat itu Abu Musa Al-Asy.ri sebagai salah
seorang gubernur menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya
menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya
tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Mendapatkan masukan ini,
khalifah Umar bin Khatab menggelar syura (musyawarah). Maka
dikumpulkanlah beberapa sahabat senior waktu itu. Diantaranya adalah
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhan bin Ubaidillah.
Dalam musyawarah itu muncullah beberapa
usulan dimulainya tahun Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad
(kelahiran) Rasulullah SAW. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan
pengangkatan Muhammad SAW menjadi Rasul. Dan ada pula yang mengusulkan
berdasarkan hijrah Rasulullah SAW. Usul terkahir ini datang dari Ali bin
Abi Thalib, dan usul inilah yang kemudian disepakati. Maka
ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa
hijrahnya Rasulullah SAW. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender
hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di
masa itu di bangsa Arab selama ini.
Betapa luar biasanya para pendahulu kita
dari kalangan sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Mereka menyepakati bahwa
kalender hijriyah dimulai dari masa hijrah ke Madinah. Bukan dari waktu
kelahiran Rasulullah, bukan dari diangkatnya Muhammad sebagai
Rasulullah, bukan pula dari peristiwa lainnya. Sesungguhnya, dalam
penentuan awal kalender Islam ini terkandung hikmah besar. Jika
kelahiran Rasulullah, itu adalah skenario dari Allah. Demikian pula
diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, itu adalah kehendak Allah yang
sulit bagi kita untuk mengambil keteladanan dari peristiwa tersebut. Itu
karunia, itu rahmat. Bukan pelibatan ikhtiar dalam kapasitas yang
besar.
Namun hijrah. Subhaanallah... betapapun
ia adalah skenario Allah, ia tetap saja sebuah proses manusiawi yang
penuh dengan nilai perjuangan dan semangat untuk diteladani generasi
berikutnya. Kita tahu, bahwa dakwah Rasulullah selama 13 tahun di Makkah
tidak membuat negeri itu menjadi negeri Islam. Bahkan yang terjadi,
meskipun semakin banyak orang yang masuk Islam, orang-orang kafir
Quraisy makin gencar menghalangi dakwah. Berbagai bentuk celaan dalam
ribuan variannya telah dilancarkan. Siksaan kepada kaum muslimin yang
lemah juga dilakukan. Berbagai negosiasi dan tawaran ditempuh agar
dakwah berhenti. Sampai pemboikotan kaum muslimin hingga mereka terpaksa
memakan daun-daunan. Semuanya tidak menghentikan dakwah. Hingga kafir
Quraisy pun berencana membunuh Rasulullah.
Sementara itu, dari arah Yatsrib datang
dukungan dakwah. Allah memberikan pertolongan dari jalan yang lain,
ternyata. Setelah baiat Aqabah I, Rasulullah mengutus dai Islam Mush'ab
bin Umair untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, mengajarkan Islam kepada
mereka. Hasilnya, penduduk Yatsrib berbondong-bondong masuk Islam.
Mereka bahkan berbaiat melindungi Rasulullah melalui baiat Aqabah II.
Mereka juga mengabarkan bahwa Yatsrib telah menjadi basis sosial yang
siap ditempati kaum muslimin.
Maka, dua bulan lebih beberapa hari
setelah Baiat Aqabah II itu, kaum muslimin Makkah yang kemudian dikenal
dengan nama Muhajirin telah hijrah ke Yatsrib. Yang kemudian dinamakan
Rasulullah sebagai Madinah. Kini tinggal Rasulullah dan Abu Bakar yang
masih berada di Makkah. Sampai kemudian datang perintah Allah kepada
keduanya untuk hijrah, tepat ketika mereka hendak membunuh Rasulullah
dengan mengepung rumah beliau.
Hijrah bukanlah perjuangan ringan.
Bayangkanlah orang-orang yang telah disiksa di kampung halamannya harus
berpindah ke negeri lain yang tidak dikenal. Yang belum jelas. Yang
masih samar masa depan di sana. Di saat yang sama ia harus meninggalkan
rumah dan harta benda yang tidak mungkin dibawa. Seakan-akan mereka
terusir. Terusir dari kampung halaman tanpa bekal dan tanpa kejelasan
masa depan. Namun karena iman, mereka menempuh perjuangan sulit dan
melelahkan itu.
Demikianlah, para sahabat rela
meninggalkan kampung halaman dan semua harta benda mereka. Bahkan rela
mengambil resiko nyawa karena tidak ada jaminan bahwa hijrah itu
berjalan mulus tanpa halangan kafir Quraisy hingga bisa dengan selamat
di Madinah. Misalnya Ayash bin Abi Rabi'ah yang akhirnya ditangkap oleh
orang Quraisy, diikat dan dibawa kembali ke Makkah. Terlebih hijrahnya
Rasulullah dan Abu Bakar yang langsung diburu oleh kafir Quraisy. Dan
disayembarakan dengan hadiah besar bagi siapa yang bisa mendapatkan
Rasulullah hidup atau mati. Tidak heran jika kaum muhajirin dipuji oleh
Allah SWT dalam Al-Qur'an dan dipersaksikan para shaadiquun:
“Bagi orang fakir yang berhijrah
yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah
dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar”. (QS. Al-Hasyr: 8).
Hijrah secara bahasa berarti "tarku"
(meninggalkan). Dikatakan: hijrah ila syai' berarti "intiqal ilaihi 'an
ghairihi" (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Sedangkan secara
istilah hijrah berarti "tarku man nahallaahu 'anhu": meninggalkan
sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: "Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah”. (HR. Bukhari)
hikmah yang terkandung dibalik ditetapkannya peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah sebagai awal perhitungan tahun Hijriyah ini. Tahun baru hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama “ Tahun Muhammad ” atau “ Tahun Umar ”. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi. Tidak seperti tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa a.s., Al – Masih ( Arab ) atau Messiah ( Ibrani )
Tidak juga seperti penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsure pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami ( dewa matahari ) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan dewa matahari, yakni Jimmu Tenno ( naik tahta 11 februari 660 M yang dijadikan awal tahun perhitungan Tahun Samura )
Atau penanggalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka. Menurut dongeng dan mitos, Aji Saka diyakini sebagai raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di tanah Jawa.
Penetapan nama Tahun Hijriyah ( al – Sanah al – Hijriyah ) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya beliau berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar, sangatlah mudah baginya melakukannya. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalan Islam itu.
Beliau malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam.
Tidak juga seperti penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsure pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami ( dewa matahari ) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan dewa matahari, yakni Jimmu Tenno ( naik tahta 11 februari 660 M yang dijadikan awal tahun perhitungan Tahun Samura )
Atau penanggalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka. Menurut dongeng dan mitos, Aji Saka diyakini sebagai raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di tanah Jawa.
Penetapan nama Tahun Hijriyah ( al – Sanah al – Hijriyah ) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya beliau berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar, sangatlah mudah baginya melakukannya. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalan Islam itu.
Beliau malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam.
Dengan demikian, hijrah secara maknawi
terus relevan sampai kapan pun. Bahwa nilai dan semangat hijrah harus
kita bawa dalam kehidupan modern ini. Kita berhijrah dari kejahiliyahan
menuju Islam. Hijrah dari kekufuran menuju Iman. Hijrah dari kesyirikan
menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan menuju al-haq. Hijrah dari nifaq
menuju istiqamah. Hijrah dari maksiat menuju tha'at. Dan hijrah dari tahun lalu menuju tahun depan yang lebih baik.
Dari berbagai sumber dan semoga bermanfaat.
Kritik dan saran kami persilahkan di kolom komentar.
0 komentar:
Post a Comment