Majalah : Visi Pustaka, Edisi : Vol.12 No.3 - Desember 2010
Ironis dan
miris jika kita melihat membaca belum menjadi tradisi yang membudaya di
masyarakat Indonesia, termasuk kaum intelektualnya. Membaca hanya
kebutuhan saja. Misalnya mahasiswa sedang mengerjakan skripsi atau
penelitian, maka mereka kerap rajin membaca. Namun, setelah itu, membaca
tidak lagi menjadi kebutuhan. Para ilmuwan berkutat dengan buku jika
ada proyek penelitian. Membaca belum menjadi budaya yang melekat pada
kaum intelektual di Indonesia.
Sungguh hal itu merupakan sebuah kemunduran yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia. 65 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, budaya membaca belum menjadi sebuah tradisi maha agung bagi masyarakatnya. Padahal, dunia telah mengakui bahwa budaya membaca merupakan tolak ukur yang paling nyata untuk menyebut bahwa sebuah bangsa itu merupakan bangsa yang maju dan beradab.
“The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them”
(orang yang tidak membaca buku bagus tak ada bedanya dengan mereka yang
tak bisa membacanya) seperti yang dikemukakan oleh pujangga, Mark
Twain. Sebuah penghinaan yang diungkapkan oleh Mark Twain bahwa meskipun
dia adalah seorang intelektual tetapi tidak memiliki budaya membaca,
maka dia disebut sebagai buta huruf. Jika budaya membaca di Indonesia
sangat rendah, bisa jadi Mark Twain menjuluki bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang buta huruf. Sebuah penghinaan yang sangat memalukan. Masih
rendahnya budaya membaca di Indonesia juga dibuktikan dengan hasil
survei tingkat Human Development Index (HDI) yang dilakukan
Lembaga PBB yang dibentuk untuk menangani masalah pembangunan (United
Nations Development Programme/UNDP). Pada survei yang dilakukan pada
2008, indeks pembangunan manusia menempati urutan 111 dari 179 negara. (http://hdr.undp.org/en/statistics/).
Jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, Indonesia kalah jauh.
Thailand menempati urutan ke 87 dan Malaysia berada pada peringkat ke
66. Bagaimana dengan Singapura? Negara itu berada pada peringkat ke 23.
Sebagai indikator pembangunan manusia, UNDP telah mengembangkan
Human Development Index (HDI) yang mencakup 3 komponen dasar yang secara
operasional dapat menghasilkan suatu ukuran untuk merefleksikan upaya
pembangunan manusia di suatu wilayah, yaitu: (1) peluang hidup (longevity) yang diukur berdasarkan rata-rata usia harapan hidup; (2) akses terhadap pengetahuan (knowledge)
yang diukur berdasarkan prosentase kemampuan baca tulis orang dewasa
dan tingkat partisipasi bersekolah yang diperoleh dari rasio gabungan
pendaftaran bersekolah dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah
lanjutan atas; (3) standard hidup yang layak (decent living) yang diukur berdasarkan pendapatan per kapita dalam paritas daya beli dalam dollar AS.
Tak bisa dipungkiri memang, budaya membaca menjadi pondasi dasar
bagi pendidikan sebuah bangsa. Adalah sebuah kegagalan dari sebuah
sistem pendidikan jika tidak berhasil menciptakan sebuah generasi yang
memiliki budaya membaca. Namun, sistem pendidikan juga didukung berbagai
elemen lainnya yang mendukung proses pencapaian budaya membaca
tersebut.
Selain sistem pendidikan nasional yang digawangi pemerintah, memang
sangat dipercayai bahwa peran perpustakaan pun sangat signifikan dalam
mendorong budaya membaca bangsa pada bangsa Indonesia. Perpustakaan
merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Perpustakaan juga merupakan pihak yang dianggap bertanggungjawab dalam
peningkatan budaya membaca. Perpustakaan menanamkan budaya membaca.
Perpustakaan bukan hanya sekedar tempat yang menyediakan peminjaman
buku. Perpustakaan bukan hanya menjadi ruang untuk membaca buku. Tetapi,
bagaimana seyogyanya perpustakaan menjadi tempat untuk berdialektika
dan berwacana dalam perang pemikiran, membangun perilaku positif, dan
mengkonstruksi generasi agar menerapkan budaya membaca. Jadi,
perpustakaan adalah tempat penggemblengan generasi yang tidak memiliki
budaya membaca menjadi generasi tangguh yang menjadikan membaca dalam
tradisi kehidupan mereka. Diharapkan perpustakaan menjadi sebuah ajang
kreativitas dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Kenapa Harus Perpustakaan?
Dalam Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Pasal 1 dijelaskan bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan pada pasal 2, dijelaskan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Dalam buku yang ditulis oleh Darmono (2007: 3-5) berjudul “Perpustakaan Sekolah; Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja” dijelaskan dengan gamblang mengenai fungsi perpustakaan. Darmono menganggap bahwa fungsi Perpustakaan, secara umum kepustakaan mengemban beberapa fungsi umum sebagai berikut: (1) Fungsi informasi, dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya agar pengguna perpustakaan dapat: (a) mengambil berbagai ide dari buku yang ditulis para ahli dari berbagai bidang ilmu; (b) menumbuhkan rasa percaya diri dalam menyerap informasi dalam berbagai bidang serta mempunyai kesempatan untuk dapat memilih informasi yang layak yang sesuai dengan kebutuhannya; (c) memperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi yang tersedia di perpustakaan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan, (d) memperoleh informasi yang tersedia di perpustakaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Pasal 1 dijelaskan bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan pada pasal 2, dijelaskan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Dalam buku yang ditulis oleh Darmono (2007: 3-5) berjudul “Perpustakaan Sekolah; Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja” dijelaskan dengan gamblang mengenai fungsi perpustakaan. Darmono menganggap bahwa fungsi Perpustakaan, secara umum kepustakaan mengemban beberapa fungsi umum sebagai berikut: (1) Fungsi informasi, dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya agar pengguna perpustakaan dapat: (a) mengambil berbagai ide dari buku yang ditulis para ahli dari berbagai bidang ilmu; (b) menumbuhkan rasa percaya diri dalam menyerap informasi dalam berbagai bidang serta mempunyai kesempatan untuk dapat memilih informasi yang layak yang sesuai dengan kebutuhannya; (c) memperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi yang tersedia di perpustakaan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan, (d) memperoleh informasi yang tersedia di perpustakaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Selanjutnya adalah fungsi pendidikan; dimana perpustakaan
menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam
maupun koleksi lainnya sebagai sarana untuk menerapkan tujuan
pendidikan. Melalui fungsi ini manfaat yang diperoleh adalah (a) agar
pengguna perpustakaan mendapatkan kesempatan untuk mendidik diri sendiri
secara berkesinambungan; (b) untuk membangkit dan mengembangkan minta
yang telah dimiliki pengguna yaitu dengan mempertinggi kreativitas dan
kegiatan intelektual; (c) mempertinggi sikap sosial dan menciptakan
masyarakat yang demokratis; (d) memcepat penguasaan dalam bidang
pengetahuan dan teknologi baru.
Kemudian adalah fungsi kebudayaan, dimana perpustakaan menyediakan
berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi
lainnya yang dapat yang dimanfaatkan oleh pengguna untuk : (a)
meningkatkan mutu kehidupan dengan memanfaatkan berbagai informasi
sebagai rekaman budaya bangsa untuk meningkatkan taraf hidup dan mutu
kehidupan manusia baik secara individu maupun secara kelompok; (b)
membangkit minat terhadap kesenian dan keindahan, yang merupakan salah
satu kebutuhan manusia terhadap cita rasa seni; (c) mendorong tumbuhnya
kreativitas dalam berkesenian; (d) mengembangkan sikap dan sifat
hubungan manusia yang positif serta menunjang kehidupan antar budaya
secara harmonis; (e) menumbuhkan budaya baca di kalangan pengguna
sebagai bekal penguasaan alih teknologi.
Perpustakaan juga memiliki fungsi rekreasi, dimana perpustakaan
menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam
maupun koleksi lainnya untuk: (a) menciptakan kehidupan yang seimbang
antara jasmani dan rohani; (b) mengembangkan minat rekreasi pengguna
melalui berbagai bacaan dan pemnafaatan waktu senggang; (c) menunjang
berbagai kegiatan kreatif serta hiburan yang positif. Tidak ketinggalan,
perpustakaan juga memiliki fungsi penelitian, sebagai fungsi penelitian
perpustakaan menyediakan berbagai informasi untuk menunjang kegiatan
penelitian. Informasi yang disajikan meliputi berbagai jenis dan bentuk
informasi, sesuai dengan kebutuhan lembaga. Terakhir adalah fungsi
deposit; sebagai fungsi deposit perpustakaan berkewajiban menyimpan dan
melestarikan semua karya cetak dan karya rekam yang diterbitkan di
wilayah Indonesia.
Melihat hal tersebut, jelas sekali bahwa perpustakaan bukan tempat
yang angker. Memang mitos di kalangan pelajar dan mahasiswa, bahwa
perpustakaan merupakan tempat yang sepi dan angker. Perpustakaan hanya
sebagai tempat untuk melakukan hal-hal serius saja. Padahal,
perpustakaan adalah sebuah lembaga yang juga memberikan hiburan dan
rekreasi kepada pengunjungnya, hanya saja, perpustakaan identik dengan
institusi pendidikan. Sedangkan pendidikan harus berkaitan dengan siswa
dan mahasiswa. Padahal, pendidikan tak mengenal waktu. Bagi mereka yang
sudah tak terikat dengan dunia pendidikan, maka sudah barang tentu
sering menjauhi perpustakaan.
Perpustakaan Komunitas; Jangan Hanya Jadi Tren
Oleh sebab itu upaya untuk mengangkat program peningkatan minat dan kegemaran membaca perlu melibatkan unsur-unsur berikut ini: (a) anak didik pada semua jenjang SD dan SLTP, SLTA; (b) guru sekolah, (c) sekolah dengan berbagai program kegiatan yang dapat menunjang pengkondisian tumbuhnya minat dan kegemaran membaca; (d) orang tua di rumah; (e) lingkungan masyarakat di luar sekolah dan rumah; dan (f) lembaga-lembaga masyarakat. (Darmono:2007; 217).
Penulis sangat sependapat dengan Darmono. Dimana dibutuhkan semua elemen masyarakat untuk urun rembug dalam peningkatkan budaya. Bukan hanya satu pihak saja yang dianggap bertanggungjawab, tetapi semua pihak harus memberikan kontribusi yang matang.
Oleh sebab itu upaya untuk mengangkat program peningkatan minat dan kegemaran membaca perlu melibatkan unsur-unsur berikut ini: (a) anak didik pada semua jenjang SD dan SLTP, SLTA; (b) guru sekolah, (c) sekolah dengan berbagai program kegiatan yang dapat menunjang pengkondisian tumbuhnya minat dan kegemaran membaca; (d) orang tua di rumah; (e) lingkungan masyarakat di luar sekolah dan rumah; dan (f) lembaga-lembaga masyarakat. (Darmono:2007; 217).
Penulis sangat sependapat dengan Darmono. Dimana dibutuhkan semua elemen masyarakat untuk urun rembug dalam peningkatkan budaya. Bukan hanya satu pihak saja yang dianggap bertanggungjawab, tetapi semua pihak harus memberikan kontribusi yang matang.
Jelas sekali bahwa lingkungan masyarakat di luar sekolah dan rumah
dan lembaga-lembaga masyarakat memiliki peran serta dalam meningkatkan
budaya membaca. Kontribusi mereka akan nampak jika mendirikan
perpustakaan komunitas sehingga turut andil dalam membantu pemerintah.
Peran serta mereka juga tidak dapat dipandang remeh karena mereka
merupakan pendukung yang mendukung karena sebagian besar manusia hidup
dalam lingkungan mereka. Sebenarnya, solusi untuk tetap mendekatkan
perpustakaan dengan masyarakat adalah membuat perpustakaan komunitas.
Kenapa harus perpustakaan komunitas? Perpustakaan komunitas lebih dekat
baik secara fisik yakni kedekatan lokasi dengan masyarakat. Perpustakaan
komunitas juga lebih dekat secara batin karena dikelola dengan
manajemen kemasyarakatan sehingga tidak terlalu birokratis dan tidak
banyak aturan serta pengekangan.
Perpustakaan komunitas tidak dijelaskan dalam UU Perpustakaan.
Namun, menurut penulis, perpustakaan komunitas digolongkan kepada
perpustakaan khusus yang dijabarkan dalam hukum tertulis tersebut. Pada
Pasal 25 UU No 43 tahun 2007 itu dijelaskan bahwa perpustakaan khusus
menyediakan bahan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan pemustaka di
lingkungannya. Pemerintah juga ikut membantu perkembangan perpustakaan
komunitas seperti tersurat dalam Pasal 28 dengan bunyi “Pemerintah dan
pemerintah daerah memberikan bantuan berupa pembinaan teknis,
pengelolaan, dan/atau pengembangan perpustakaan kepada perpustakaan
khusus”. Ini menjadi sangat jelas bahwa pemerintah juga berkewajiban
untuk membantu perkembangan perpustakaan komunitas. Meski, perpustakaan
komunitas tetap tidak terikat dengan pemerintah. Bantuan pemerintah
sangat diperlukan untuk memberdayakan dan meningkatkan peran serta
perpustakaan komunitas dalam pembangunan bangsa.
Stian Haklev (2008) dalam hasil penelitian yang berjudul
“Mencerdaskan Bangsa - Suatu Pertanyaan Fenomena Taman Bacaan di
Indonesia” mengungkapkan bahwa perpustakaan komunitas diselenggarakan
terutama bagi diri komunitas itu sendiri yang disesuaikan dengan
kebutuhan dalam upaya memberdayakan dirinya. Pendekatan dalam
pembangunan perpustakaan yang dilakukan oleh masyarakat atau komunitas
itu tidak lagi dilakukan secara struktural dan birokratis melainkan
melalui pendekatan kultural yang cair. Pengelolaan perpustakaan
komunitas lebih bersifat independen, dalam arti tidak bergantung pada
pemerintah, terutama pada masa awal keberadaannya dengan slogan dan
semangat budaya perlawanan atau do it yourself.
Menurut penulis, sungguh menarik bahwa dasar dari perpustakaan komunitas ada unsur pemberontakan. Para pengelola perpustakaan komunitas ingin membuat suatu gerakan yang ingin melawan paradigma mengenai perpustakaan yang selama ini telah tertanam di masyarakat.
Menurut penulis, sungguh menarik bahwa dasar dari perpustakaan komunitas ada unsur pemberontakan. Para pengelola perpustakaan komunitas ingin membuat suatu gerakan yang ingin melawan paradigma mengenai perpustakaan yang selama ini telah tertanam di masyarakat.
Perlawanan itu bersifat positif karena mereka menganggap bahwa
mereka adalah pihak yang paling mengetahui siapa sebenarnya komunitas
mereka. Itu pun tidak salah. Karena pada dasarnya, dalam niat mereka
tertanam bahwa mereka ingin memberikan kontribusi lebih bagi komunitas
mereka. Tentunya dengan cara mereka sendiri.
Dalam sebuah buku bertajuk “Perpustakaan dan Masyarakat” yang
ditulis oleh Sutarno NS (2006: 67) dijelaskan mengenai sebuah
perpustakaan di dalam suatu komunitas masyarakat karena hal-hal sebagai
berikut: pertama, adanya keinginan yang datang dari kalangan masyarakat
luas untuk terselenggaranya perpustakaan, karena mereka yang membutuhan;
kedua, adanya keinginan dari suatu organisasi, lembaga, atau pemimpin
selaku penanggungjawab institusi di suatu wilayah untuk membangun
perpustakaan; ketiga, adanya kebutuhan yang dirasakan oleh kelompok
masyarakat tertentu tentang pentingnya sebuah perpustakaan; keempat,
diperlukannya wadah atau tempat yang bisa untuk menampung, mengolah,
memelihara dan memberdayakan berbagai hasil karya umat manusia dalam
bentuk ilmu pengetahuan, sejarah penemuan, budaya dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengalaman dan observasi, penulis mengerucutkan bahwa
perpustakaan komunitas memiliki lima prinsip yang menjadi fondasi. Jika
fondasi itu terus dipertahankan dan dipupuk akan akan menjadi sebuah
perpustakaan komunitas yang memiliki peran yang maksimal.
Pertama, perpustakaan komunitas adalah bentuk inisiatif dari
masyarakat atau komunitas untuk saling membantu dan tolong menolong
untuk mewujudkan akses buku yang mudah diakses. Ketika ada inisiatif,
maka di situ ada niat baik. Selanjutnya adalah konsistensi dalam
melanjutkan inisiatif. Salah satu penyakit perpustakaan komunitas adalah
inkonsistensi. Biasanya hanya perpustakaan komunitas sangat atraktif
dan aktif pada awal-awal pendiriannya, namun selang beberapa terkendala
oleh beberapa hal termasuk dana, inkonsitensi pengurus, monoton karena
tidak ada kegiatan, dan diorientasi.
Kedua, perpustakaan komunitas menjadi ajang eksistensi dan jati diri sebuah organisasi atau kelompok masyarakat tertentu dengan tujuan pemberdayaan anggotanya. Tak bisa dipungkiri jika setiap komunitas, kelompok masyarakat atau pun organisasi tertentu selalu mengedepankan eksistensi. Eksistensi itu dilakukan bukan hanya dengan mengibarkan bendera kelompok mereka tetapi salah satunya dengan perpustakaan. Dengan perpustakaan, maka jalinan antara anggota pun akan semakin erat.
Kedua, perpustakaan komunitas menjadi ajang eksistensi dan jati diri sebuah organisasi atau kelompok masyarakat tertentu dengan tujuan pemberdayaan anggotanya. Tak bisa dipungkiri jika setiap komunitas, kelompok masyarakat atau pun organisasi tertentu selalu mengedepankan eksistensi. Eksistensi itu dilakukan bukan hanya dengan mengibarkan bendera kelompok mereka tetapi salah satunya dengan perpustakaan. Dengan perpustakaan, maka jalinan antara anggota pun akan semakin erat.
Ketiga, perpustakaan komunitas adalah ajang untuk pengembangan
kreativitas masyarakat dengan membaca buku dan melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya, seperti diskusi, bedah buku, dan workshop
yang disesuaikan dengan kebutuhan anggotanya. Menariknya lagi jika
perpustakaan komunitas dikembangkan menjadi Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM). Itu sangat menarik karena perpustakaan menjadi tempat
belajar seperti Kejar Paket A, B dan C. Perpustakaan juga dapat
bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan pelatihan
kewirausahaan, misalnya membuat kue, manajemen bisnis, dan pelatihan
montir mobil serta sepeda motor. Jika perpustakaan komunitas memiliki
berbagai kegiatan, maka anggotanya pun akan terikat dan semakin aktif.
Salah satu penyebabnya banyaknya perpustakaan komunitas yang tidak
langgeng karena tidak adanya kegiatan yang menarik bagi anggotanya.
Keempat, perpustakaan komunitas memiliki prinsip idealisme yakni
ikut membudayakan tradisi membaca di kalangan masyarakat. Misi tersebut
adalah misi mulia yang harus dimiliki oleh seluruh perpustakaan. Tapi
misi untuk membudayakan membaca, maka itu bukanlah perpustakaan. Namun,
perpustakaan komunitas kerap terjebak dengan paradigma tradisional dalam
mengembangkan budaya membaca. Mereka kerap hanya menyediakan buku-buku
semata. Padahal, peningkatan budaya membaca bukan hanya identik dengan
buku.
Paradigma perpustakaan komunitas modern yakni melakukan pendekatan
people to people sehingga terjalin emosional yang solid. Dengan
pendekatan tersebut, maka akan terjalin kepercayaan sehingga memudahkan
kelangsungan perpustakaan komunitas.
Selain itu, perpustakaan komunitas juga harus akrab dengan
teknologi informasi. Banyaknya perpustakaan komunitas yang tak bertahan
usianya karena tidak menyesuaikan teknologi. Mereka ditinggal
anggotanya. Jika ingin mendekatkan teknologi, perpustakaan komunitas
membutuhkan biaya besar.
Kelima adalah jaringan. Di sinilah, perpustakaan komunitas mampu menggaet pemerintah atau pun program coorporate social responsibility
ikut membantu operasional mereka. Untuk memasuki jaringan tersebut,
maka perpustakaan komunitas pun harus masuk ke jaringan perpustakaan
yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dengan
jaringan tersebut, maka pengelolaan perpustakaan akan menjadi lebih
mudah dan banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Jika kelima prinsip tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
oleh perpustakaan komunitas, kemungkinan mereka akan eksis dan
anggotanya akan semakin fanatik. Pasalnya, anggota perpustakaan
mendapatkan sesuatu yang berbeda dari perpustakaan yang tidak didapatkan
dari tempat lainnya.
Mengemas Ulang Perpustakaan Komunitas
Untuk bertahan dengan kafe, dan warung internet, serta menyadarkan kembali masyarakat, mau tak mau perpustkaan komunitas harus berubah. Perubahan memang merupakan hal yang sangat sulit. Tetapi, jika tidak ada perubahan maka akan selalu tertinggal. Apalagi, perpustakaan komunitas adalah lembaga nirlaba.
Mengemas Ulang Perpustakaan Komunitas
Untuk bertahan dengan kafe, dan warung internet, serta menyadarkan kembali masyarakat, mau tak mau perpustkaan komunitas harus berubah. Perubahan memang merupakan hal yang sangat sulit. Tetapi, jika tidak ada perubahan maka akan selalu tertinggal. Apalagi, perpustakaan komunitas adalah lembaga nirlaba.
Tujuan utama mengemas ulang perpustakaan komunitas adalah
memberdayakannya sebagai sebagai unjung tombak peningkatan budaya baca
masyarakat. Pengemasan itu dilakukan dalam beberapa tahap dan beberapa
proses demi tercapainya perpustakaan komunitas yang memiliki daya saing
tinggi serta kompetitif dengan persaingan dengan kafe dan pusat
perbelanjaan.
Beberapa perubahan yang harus dilakukan adalah promosi perpustakaan komunitas. Menurut Darmono (2007; 208), perpustakaan sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang jasa tentunya dapat mengadopsi prinsip-prinsip promosi dalam bidang kegiatannya. Tujuan promosi perpustakaan sebenarnya adalah untuk memperkenalkan perpustakaan, koleksi, jenis koleksi yang dimiliki, kekhususan koleksi, jenis layanan dan manfaat yang dapat diperoleh pengguna perpustakaan. Melalui kegiatan promosi diharapkan masyarakat mengetahui pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan sehingga membuat mereka tertarik dan mengunjunginya.
Sebenarnya secara sadar atau tidak, pustakawan sudah melakukan
kegiatan promosi, akan tetapi kegiatan yang mereka lakukan kebanyakan
tidak terencana, karena memang kegiatan ini bukan tujuan utama mereka.
Seperti halnya melakukan pameran buku baru, peningkatan kualitas
layanan, penampilan citra perpustakaan merupakan aspek-aspek kegiatan
promosi yang sudah diterapkan di perpustakaan, meskipun dilakukan secara
tidak sadar tadi. (Darmono: 2007; 2008).
Metode memamerkan jasa perpusataan baik dengan menggunakan bantuan
alat elektronik maupu yang tidak menggunakan bantuan peralatan
elektroniok, sebagai berikut: (1) nama dan logo; (2) poster dan leaflet;
(3) pameran; (4) press realease; (5) siaran radio; (6) ceramah; dan (7)
iklan. (Darmono: 2007; 210-213).
Menurut penulis, perpustakaan komunitas harus dapat melaksanakan
metode perpustakaan yang dikemukakan oleh Darmono. Yang paling efektif
adalah menjalin komunikasi dengan radio komunitas yang telah memiliki
pendengar dan pasar telah pasti. Kemudian, perpustakaan juga dapat
membuat leaflet atau buletin yang berisi informasi kepada pelanggan
setianya.
Setelah promosi, dalam buku berjudul “Inside, Outside, and Online: Building Your Library Community”
karya besar Hill Chrystie (20090 mengutip pendapat Menurut Profesor Joe
Jones dari University of Washington iSchool mengemukakan bahwa apa yang
dimaksudkan perpustakaan adalah Adanya barang atau buku, tempat,
pelayanan, interaksi, dan nilai-nilai. (Hill:2009; 20)
"Think outside the box! Don't get hemmed in by thingking things aren't "what libraries do." We don't just provide books or internet service - we help the community. And we can do that in more ways than we're use to doing (Mary Doud, Deputy Director, Kalamazoo Public Library, Michican dalam Hill: 2009;22). Apa yang diungkapkan Mary Doud adalah benar adanya. Apalagi sesuai dengan konteks perkembangan perpustakaan komunitas di Indonesia. Doud mengajak para pengurus perpustakaan komunitas untuk berpikir di luar konteks atau kelaziman. Dia mengajak agar pengurus perpustakaan tidak hanya menyediakan buku atau internet. Dia menggarisbawahi bahwa perpustakaan juga membantu komunitas. “Kita menemukan bahwa pelayanan perpustakaan yang memiliki komunitas mengijinkan para pustakawan secara sistematis untuk mengevaluasi dan memberikan pelayanan berulang kali untuk memenuhi keinginan individu dan komunitas. Pendek kata, pendukung kita dan komunitas harus dilayani dengan baik dan harus dijalin komunikasi, itulah tugas perpustakaan.” (Hill:2009;22-23)
Hill (2009: 22-23) pun menggelar survei, wawancara, dan mengunjungi ratusan pustakawan untuk belajar bagaimana mereka membangun komunitas mereka di dalam perpustakaan. Ternyata mereka menjalankan prinsip-prinsip prediksi, penyampaian, pendekatan, pengulangan atau evaluasi, dan mempertahankan.
Pertama adalah prediksi. Di dalamnya ada pemahaman mengenai
kebutuhan utama pelanggan dan itu menjadi pelayanan utama perpustakaan
yang fokus terhadap komunitas. Penilaian kebutuhan itu memainkan peranan
signifikan agar terjadi kesesuaian antara pelayanan perpustakaan dan
kebutuhan komunitas. (Hill:2009;23).
Kedua adalah penyampaian. Komponen ini melibatkan pelayanan
strategi terhadap basis komunitas sesuai dengan kebutuhan utama mereka.
Elemen ini termasuik perencanaan strategi, pengembangan koleksi,
pelayanan program dan pengembangan, serta manajemen sumber daya.
Kemudian, memperhatikan pengalaman para anggota perpustakaan dan
mengadaptasi sesuai dengan keinginan komunitas. (Hill:2009;23).
Ketiga adalah pendekatan. Komponen ini meliputi berkomunikasi
langsung dan melayani komunitas secara efektif. Komunikasi meliputi
pesan-pesan mengenai perpustakaan, misi kita, dan penawaran kita. Itu
juga termasuk komunikasi yang terus berjalan dengan para anggota dan
diterimanya umpan dari mereka dalam hal persepsi, pemahaman, dan
pengalaman. (Hill:2009;24).
Keempat adalah pengulangan atau evaluasi. Evaluasi merupakan kunci
untuk mengetahui apakah kita telah melakukan tujuan kita untuk
mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Dari “Kepercayaan
penuh” dan “standar perpustakaan”, tetapi dengan evaluasi dan prediksi
perpustakaan untuk mengetahui dampak atau hasil pelayanan terhadap
komunitas. (Hill:2009;24).
Kelima adalah mempertahankan. Menganggap bahwa implikasi jangan
panjang dan medium dari pelayanan menjadi kunci dari apa yang disebut
dengan “bukti masa depan” perpustakaan. Pendek kata, jika Anda ingin
tetap dapat diakses, fleksibel, dan mudah beradapatasi maka pelayanan
perpustakaan harus relevan dan selalu memenuhi kebutuhan anggota, dan
ibarat feshyen selalu mengikuti mode. (Hill:2009; 25).
Penulis berpendapat, jika perpustakaan komunitas menerapkan kelima
hasil penelitian yang dilakukan Hill, maka perpustakaan mereka akan
selalu dinanti oleh para anggotanya. Dibutuhkan proses yang cukup matang
untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut pada perpustakaan komunitas.
Dibutuhkan pelatihan dan pemahaman lebih dalam mengenai prinsip tersebut
hasilnya lebih memuaskan.
Menurut Andy Barnett (2002) dalam bukunya berjudul “Libraries,
community, and technology” memaparkan perpustakaan memiliki tiga
kekuatan utama yang menunjukkan seperti apa sebenarnya perpustakaan itu.
Barnett menjelaskan ketiga kekuatan tersebut dengan detail.
Pertama, perpustakaan sebagai lembaga publik memiliki misi sosial
yang bersejarah. Fase teknologi telah mengacaukan misi tersebut, apalagi
kebanyakan pengelola telah mengetahui apa yang seharusnya mereka
lakukan. Misi mereka pun telah menjadi strategi besar perpustakaan.
(Barnett: 2002; 6)
Kedua, kepustakawanan telah mengajarkan serangkaian nilai yang
memandu langkah-langkah para pustakawan. Saat ini, nilai-nilai itu
tersebut berubah dan mendatanya pun berujung kepada kebuntuan tetapi
yang lebih penting adalah mengabaikan aspek terpenting dari nilai-nilai
tersebut. Aspek terpenting itu adalah membuat pendekatan bagi
orang-orang yang aktif dalam perpustakaan dan mengimplemetasikan misi.
(Barnett: 2002; 6)
Ketiga, perpustakaan dikenal karena masyarakat menginginkan sesuatu
dari sebuah perpustakaan yakni pelayanan yang mapan dan tidak mahal.
Kemudian adanya aplikasi tegas dianggap sebagai taktik bagi anggota
perpustakaan untuk memenuhi misi yang juga bertujuan untuk menarik
perhatian pasar. (Barnett: 2002; 6)
Bagaimana pun juga, masyarakat tetap mengandalkan perpustakaan,
terutama perpustakaan komunitas karena tidak ada biaya dan relatif lebih
murah dibandingkan mereka harus pergi ke toko buku. Seyogyanya
perpustakaan komunitas harus menjadi tempat rakyat untuk mengakses ilmu
pengetahuan. Hingga tujuan utama perpustakaan komunitas menjadi ujung
tombak peningkatan budaya membaca perpustakaan pun tercapai. Caranya
adanya pelaksanaan berbagai prinsip yang telah dijelas tersebut sehingga
ada parameter dan acuan dimiliki perpustakaan komunitas. Satu hal yang
harus ada perpustakaan komunitas adalah konsistensi dalam melaksanakan
prinsip-prinsip tersebut.
Referensi:
Barnett, Andy. 2002. Libraries, community, and technology. NOrth Carolina: McFarland and Company, Inc
Darmono. 2007. Perpustakaan Sekolah; Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja. Jakarta: Grasindo
Hill, Chrystie. 2009. Inside, Outside, and Online: Building Your Library Community. Chicago: American Library Association
Sutarno NS. (2008). Membina Perpustakaan Desa. CV. Jakarta: Sagung Seto.
Ibid (2006). Perpustakaan dan Masyarakat. CV. Jakarta: Sagung Seto.
Stian Haklev: 2008. Mencerdaskan Bangsa - Suatu Pertanyaan
Fenomena Taman Bacaan di Indonesia. University of Toronto at Scarborough
Tilaar, HAR. 1998. Magelang: Penerbit Tera Indonesia
Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
0 komentar:
Post a Comment